Categories
Riset

Irak Pasca Perang [3]

INVASI AMERIKA KE IRAK

by: harja saputra (2004)

 

A. Inspeksi Senjata Kimia di Irak

            Investigasi senjata pemusnah massa di Irak, adalah serangkaian aksi Amerika yang dimulai dari tahun 2000-2003 pasca terjadinya perang Teluk I pada tahun 1991, yang diduga Irak masih menyembunyikan senjata kimia dan senjata biologi yang dapat mengancam keamanan dunia.

Pada bulan Juli 2000, pemerintah Amerika Serikat menerima laporan dari badan khusus PBB yang menangani Inspeksi Senjata Kimia di Irak, yaitu UNMOVIC, bahwa Irak diduga masih menyembunyikan senjata kimia di negerinya.[1] Laporan tersebut merupakan pemicu awal dari terjadinya serangkaian aksi investigasi senjata di Irak, yang akhirnya menimbulkan keputusan di pihak Amerika untuk menggempur Irak, yang terjadi pada bulan Maret-April 2003.

Laporan UNMOVIC di atas, tidak spontan melahirkan kebijaksanaan luar negeri Amerika untuk menggempur Irak. Baru setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001, yaitu peristiwa penghancuran gedung WTC di pusat peradaban Amerika, peninjauan kembali senjata di Irak mulai diintensifkan. Pasalnya, peristiwa 11 September tersebut diduga dilakukan oleh jaringan terorisme internasional, yang diduga pula oleh Amerika terkait dengan jaringan al-Qaeeda pimpinan Osama bin Laden, yang memiliki jaringan dengan Saddam Husein di Irak.[2]

Modus utama misi investigasi senjata di Irak ini didorong oleh kebijakan luar negeri Amerika di dalam memberantas jaringan terorisme inetrnasional, yang jelas-jelas telah mengancam kehidupan warga Amerika, hal itu terbukti dari peristiwa 11 September 2001 di atas. Peristiwa tersebut, menimbulkan efek yang sangat kuat pada pemerintahan Amerika Serikat, untuk mengeluarkan kebijakan politik dalam misi membasmi jaringan terorisme dunia. Hal itu tercermin dalam keterangan pers yang ditulis oleh Deputi Menteri Pertahanan Amerika, Paul Wilfowitz, yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2001.

Berikut ini adalah petikan dari siaran pers Paul Wolfowitz tersebut:

“Pada 11 September 2001, di New York, Washington dan Pennsylvania, para pelaku kekerasan ekstrem membunuh ribuan warga dari tujuh puluh negara lebih. Di antara mereka yang tewas atau hilang terdapat kaum Muslimin serta Arab. Setidaknya satu orang Indonesia tewas dalam serangan tersebut.

Satu minggu kemudian, para pemimpin demokrasi terbesar kedua dan ketiga dunia, Presiden George W. Bush dan Presiden Megawati Soekarnoputri, bertemu untuk membicarakan harapan mereka pada perdamaian, keamanan, dan kemakmuran bagi kedua bangsa besar tersebut, dan bagi dunia. Selama di Washington, Presiden Megawati memuji prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi oleh kedua negara tersebut – “kebebasan individu, keterbukaan masyarakat, dan semangat republikan yang kuat.” Cita-cita ini senantiasa menjadi sumber kekuatan Amerika dan Indonesia. Sejak masa bakti saya di Jakarta, saya perhatikan prinsip-prinsip ini sudah berkembang dengan mengesankan di Indonesia.

Dunia beradab sekarang melakukan kampanye untuk mengamankan dan membela komitmen bersama kita pada suatu masyarakat yang santun. Dalam minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang, para musuh kemanusiaan yang beradab akan berusaha memecah belah kita. Mereka akan dengan palsunya menyatakan bahwa Amerika Serikat menentang Islam dengan mengabaikan kenyataan bahwa Islam dianut oleh jutaan warga negara Amerika. Mereka akan mengklaim sebagai pembela Islam dan dengan palsunya akan menunjukkan bahwa ratusan juta Muslimin sependapat dengan keyakinan mereka bahwa membunuh orang tidak bersalah dapat dibenarkan. Mereka yang dengan sengaja membunuh dan melukai anak-anak, wanita, kakek dan nenek tidak akan ragu-ragu untuk berdusta tentang motivasi kejahatan mereka. Saya secara pribadi mengenal beratus-ratus orang Muslim, bukan hanya warga Indonesia tetapi juga Arab, Turki, Iran, Pakistan dan banyak lagi yang lain. Saya tahu bahwa nilai-nilai para teroris bukanlah nilai-nilai kaum Muslimin. Dan Presiden Bush sudah dengan jelas menyampaikan kepada rakyat Amerika rasa hormat dan kekagumannya pada jutaan Muslimin Amerika dan pada Islam sebagai agama.

Penghargaan Presiden Bush pada Islam juga diikuti oleh bangsa Amerika. Amerika Serikat sudah sering membantu bangsa Muslim, tidak saja dengan bantuan ekonomi dan kemanusiaan, tetapi bahkan juga dengan pasukan militer A.S. Lima kali dalam sepuluh tahun ini – di Kuwait, di Irak Utara, di Somalia, di Bosnia, dan di Kosovo – pasukan-pasukan A.S. terjun ke dalam perang untuk melindungi kaum Muslimin dari agresi, pembersihan etnis dan bahaya kelaparan karena perang.

Sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Bush, “Musuh Amerika bukanlah teman-teman Muslim kita. Bukan banyak di antara teman-teman Arab kita. Musuh kita adalah jaringan teroris radikal dan setiap pemerintah yang mendukung mereka.” Para teroris itu adalah gerakan pinggiran yang sudah ditolak oleh para sarjana dan ulama Islam karena ektremisme mereka yang tidak bermoral. Para teroris membunuh orang tak berdosa – dan mereka menghujat Tuhan karena memohon kepadaNya agar mendukung tindakan batil mereka. Para teroris menginjak-injak rukun-rukun Islam yang mulia dan merusak kehormatan Islam.”

Jaringan teroris Al-Qaedah dan tangan para pendukungnya bergelimangan darah atas kekejian pada 11 September dan banyak tindakan pembunuhan sebelumnya. Ada kelompok-kelompok teroris Al-Qaedah di lebih dari enam puluh negara.

Mereka didukung oleh pemerintah Taliban, yang telah menolak menyerahkan para teroris atau menolak menutup kamp-kamp teroris. Mereka berkali-kali menolak permintaan PBB dan bahkan mempertaruhkan nasib mereka dengan mengundang teroris asing.

Di Afganistan yang diperintah rezim Taliban, kita melihat visi Al-Qaedah bagi dunia: jutaan orang kelaparan; kaum perempuan tidak diperkenankan bersekolah; orang dipenjara karena memiliki televisi atau memelihara jenggot yang terlalu pendek. Hal-hal ini adalah buah dari sikap ektremis berpikiran sempit. Ini sangat bertolak-belakang dengan berbagai tradisi keterbukaan dan pluralisme yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat Amerika dan Indonesia.

Amerika Serikat tidak mempunyai konflik dengan rakyat Afganistan. Sebaliknya, kita justru pernah membantu rakyat Afganistan dalam perjuangan mereka untuk memperoleh kemerdekaan melawan bekas Uni Soviet. Bahkan saat ini Amerika Serikat merupakan negara donor terbesar di dunia bagi Afganistan. Sejak awal 1990-an, kita sudah menyumbangkan bantuan senilai 600 juta dollar bagi Afganistan. Pada tahun ini saja, kita sudah menyumbangkan lebih dari 170 juta dollar untuk bantuan pangan, tempat tinggal, pekerjaan, serta klinik-klinik kesehatan bagi masyarakat Afganistan, dan berencana mengeluarkan 320 juta dollar lagi – sementara itu pemerintah Taliban dan kaum teroris asing yang memberi mereka bantuan militer bahkan menggunakan sumber daya mereka untuk memerangi saudara-saudara mereka sendiri kaum Afganistan dan kaum Muslimin. Kita akan mendukung rakyat Afganistan di masa mendatang: mereka patut mendapatkan kedamaian dan stabilitas serta kemerdekaan dari para tiran yang sewenang-wenang dan para teroris asing.

Perang bukan hanya perang Amerika. Seluruh bangsa yang bermoral – semua yang meyakini perdamaian dan penghormatan terhadap jiwa yang tak bersalah – mempunyai taruhan dalam memastikan kekalahan terorisme dan mereka yang mendukungnya.”[3]

            Keterangan pers dari Deputi Menteri Pertahanan Amerika di atas, jelas merupakan satu sinyalir bahwa Kebijakan Luar Negeri Amerika dalam membasmi teorisme yang telah mengancam keamanan Amerika dan dunia menjadi satu keharusan yang tidak bisa dielakkan. Hal inilah rupanya sebagai salah satu sebab yang melatarbelakangi dilakukannya misi invasi ke Irak.

            Para pengamat politik, baik dalam maupun luar negeri, memberikan berbagai analisa dalam menyikapi sikap Amerika yang nyaris ngotot untuk melakukan misi investigasi senjata di Irak, meskipun oleh Dewan PBB, yaitu UNMOVIC, pada akhir tahun 2002, dinyatakan bahwa di Irak tidak ditemukan senjata pemusnah massa seperti yang dituduhkan pemerintahan Amerika terhadap Irak.[4]

            Wimar Witular, salah seorang pengamat politik dalam negeri, memberikan komentar terhadap invasi senjata di Irak pada bulan Maret-April 2003, dalam artikel yang berjudul “Osama di Irak?” sebagai berikut:

“Koran Inggris konservatif “Times” bertanya, “If we must go to war, for God’s sake tell us why,” koran Inggris intelek “Independent” menyatakan, “Sebrutal apapun rezim di sana, Inggris tidak boleh mendukung penyerbuan terhadap Irak.” Ini berbeda sekali dengan sikap Tony Blair yang akhir-akhir ini selalu mendukung Presiden AS Bush. Membuat dia diserang oleh pers Inggris sendiri, yang menuduh Blair seperti pemimpin negara Komunis zaman blok Soviet. Kalau mereka selalu mendukung Moskow, Blair selalu mendukung Washington, walaupun tidak jelas apa yang diinginkan Bush.
Orang Amerika sendiri mulai tidak mengerti, apa maksud Bush dengan rencana menyerang Irak. Apakah Osama bin Laden bersembunyi di Irak? Tadinya katanya penjahat utama di dunia adalah Osama, dan dia harus dikejar habis-habisan apapun konsekuensinya. Sikap pemerintah Clinton yang menekankan HAM dan Demokrasi, diganti anti-terorisme tanpa pandang bulu. Singapura yang galak bicara mengenai terorisme, menjadi anak kesayangan AS.

Menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld bicara lebih galak lagi. Katanya serangan udara tidak akan bisa menghancurkan Irak karena senjata biokimia tidak bisa dilokaliser untuk pemboman. Tersirat keinginan mengirim pasukan darat, mungkin sampai ratusan ribu pasukan. Tapi apa mau orang Amerika mati di medan perang? Sementara Osama bin Laden entah lari kemana, Irak dijadikan sasaran.


Rakyat Amerika akan pusing lagi kalau melihat bahwa perang melawan Irak mungkin memerlukan dana sampai enampuluhan Milyar Dollar, padahal kas sudah dikuras untuk proyek2 anti teorisme.

Waktu Perang Teluk melawan Irak, biaya perang dipikul bersama. Bahkan AS hanya membayar 20%. Yang banyak memikul biaya adalah Saudi Arabia, Kuwait dan Jepang. Sekarang, mereka ragu2. Amerika terlalu banyak musuh, dari Afghanistan, Palestina sampai Irak. Bisa-bisa menjadi perang melawan suatu kebudayaan. Ini orang Amerika yang bicara, saya hanya membaca. Saya bukan simpatisan Osama bin Laden, sama sekali bukan.”[5]

 

            Itulah tanggapan dari Wimar Witular terhadap invasi senjata di Irak oleh Amerika, yang menurutnya Amerika telah secara brutal dengan tanpa alasan yang tepat hendak membumihanguskan Irak.

           

B. Kepentingan Politik Amerika untuk Timur Tengah

            Gertakan Presiden Bush yang bertalu-talu sejak beberapa bulan pada tahun 2002-2003 terakhir kini benar-benar diwujudkan, yaitu dengan mengirim ribuan pasukan ke Irak untuk misi invasi ke Irak dan untuk menggulingkan kepemimpinan Saddam Husein yang diklaim oleh Bush sebagai tahap awal untuk menciptakan demokratisasi Irak.

Meski sulit dipercaya oleh manusia-manusia yang bernurani, dan yang sedikit banyak menyadari betapa akan dahsyatnya penghancuran oleh Amerika Serikat itu, Irak sungguh-sungguh diserang. Umumnya media menyebut peristiwa ini secara gampangan sebagai “perang”.

Faktanya, ia sama sekali bukan perang; bukan karena kekuatan kedua pihak sungguh tak seimbang, melainkan karena alasan penyerbuan itu berlawanan langsung dengan hukum internasional yang sudah disepakati dunia selama setengah abad. Karena itu istilah yang lebih tepat adalah “penyerbuan” (invasion), dan dalam konteks korban-korbannya ia lebih pantas dinamai “pembantaian massal” (massacre), lantaran dahsyatnya kekuatan destruktif mesin perang AS yang berteknologi tinggi itu.[6]

Satu-satunya alasan AS yang dicoba dikaitkan dengan hukum dalam menyerbu Irak adalah bahwa Irak melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, yang mengharuskannya menghancurkan semua persenjataan pemusnah masalnya, termasuk nuklir, kimia dan biologi (CBW), setelah Irak mengakhiri pendudukannya atas Kuwait (1991).  Kalaupun alasan yuridis-formal ini bisa dibenarkan, ia mengidap masalah.

Pertama, alasan pelanggaran itu tentunya harus diterapkan secara konsisten, yaitu harus berlaku pula bagi semua negara yang melanggar resolusi DK-PBB maupun semua kesepakatan internasional. Faktanya, hampir 90 buah resolusi serupa telah dan sedang dilanggar oleh sekutu-sekutu terdekat AS. Misalnya serbuan Maroko atas Sahara Barat, pendudukan Turki terhadap Siprus Utara dan, tentu saja, keganasan Israel atas Palestina dengan melanggar berpuluh-puluh resolusi DK maupun Majelis Umum PBB dalam 25 tahun terakhir. Semua tindakan itu masih berlangsung sampai hari ini.

Kalapun benar Irak memiliki senjata nuklir, dan jika pemilikan ini harus dihukum, maka tentunya yang juga harus dihukum paling sedikit adalah India, Pakistan, Korea Utara dan Israel. Mereka semua memiliki nuklir, dengan melangggar perjanjian non-proliferasi (NPT), yang membatasi pemilikan nuklir hanya pada negara-negara besar yang disebut “The Nuclear Club”.

Kedua, serbuan AS terhadap Irak inilah yang  sudah pasti melanggar aturan main internasional, sebab menurut Pasal 41 dan 42 Piagam PBB, tiada satu pun negara anggota yang berhak menerapkan resolusi apapun secara militer kecuali telah diputuskan oleh Dewan Keamanan bahwa memang telah terjadi pelanggaran material atas resolusi tersebut.

Menurut Piagam PBB, Dewan Keamanan juga harus memutuskan sebelumnya bahwa semua cara nonmiliter memang telah diupayakan tapi tidak mempan, dan DK pula yang harus memberi wewenang untuk menggunakan cara militer. Faktanya, sampai sidangnya yang terakhir bulan lalu, DK-PBB tak juga memberi wewenang itu, meski AS sudah berupaya habis-habisan meyakinkan sidang -– termasuk dengan memanipulasi data -– bahwa Irak memang sungguh-sungguh memiliki senjata-senjata pemusnah massal itu.

Mekanisme itulah yang ditempuh pada November 1990 (di masa kekuasaan Bush Senior), ketika DK-PBB menerapkan resolusi 678 sebagai respon terhadap pendudukan Irak atas Kuwait, suatu tindakan yang melanggar sejumlah resolusi yang dikeluarkan pada Agustus 1990 yang mendesak Irak agar segera mundur dari negeri mini itu. Irak akhirnya menaati resolusi ini pada Maret 1991. Tentu saja ia sekarang bisa diperdebatkan: Apakah resolusi itu masih boleh dianggap berlaku pada tahun 2003, ketika pokok masalahnya sangat berbeda?

AS pun sepenuhnya mengerti aturan main ini. Itu sebabnya, sejak semula ia berusaha keras memperoleh persetujuan DK-PBB, yang oleh Presiden Bush tak henti-hentinya dipuji dan dia nyatakan bahwa dia menghormati lembaga terpenting PBB ini. Tapi ketika makin terlihat gejala DK akan menolaknya, Bush mulai berbalik dan menggertak bahwa AS akan tetap menyerang Irak secara unilateral kalaupun DK tak menyetujuinya. Dan ketika DK-PBB benar-benar menolaknya, AS sunguh-sungguh membombardemen rakyat Irak.

Dengan aksi ilegalnya ini, AS -– yang berdalih  ingin “mengubah rezim” Baghdad dan membidik Presiden Saddam Hussein (seraya tahu pasti bahwa korban-korban utamanya adalah rakyat sipil Irak) — secara serius melanggar prinsip keamanan kolektif dan kewenangan PBB serta membuka lebar pintu bagi anarki internasional. Tindakan ini merupakan aksi unilateral pertama dalam sejarah PBB.

Ada pula keberatan besar dari para tokoh senior militer AS sendiri, termasuk bekas Panglima Operasi Desert Storm (1991) Jenderal Norman Swarszkopf, yang menilai serbuan itu akan memakan banyak sekali korban di pihak AS sendiri. Para petinggi AS yang paling bernafsu menyerang Irak (dengan dirijen utama empat serangkai Cheney-Rumsfeld-Wolfowitz-Rice) memang semuanya tokoh sipil, yang sama sekali tak mengerti atau tak mau tahu tentang konsekuensi-konsekuensi dahsyat dari serbuan ke Baghdad itu. Nelson Mandela menyebut mereka sebagai “orang-orang yang merintangi Bush dari memasuki dunia modern”.

Para mantan petinggi militer AS bahkan mengingatkan bahwa serbuan ini akan menimbulkan luka yang lebih perih dibanding trauma Vietnam atas rakyat Amerika. Mereka mengingatkan, hampir 500.000 tentara regular Irak yang dikenal cukup tangguh tentu akan bertempur habis-habisan untuk membendung serdadu AS.

Biaya ekonomis yang harus ditanggung oleh AS pun akan sangat besar, dan pasti berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Amerika yang ekonominya sekarang pun sedang mengalami resesi cukup berat. Karena serbuan ini unilateral, maka biaya perang dan pemulihan pasca-perangnya pun harus ditanggung sendirian oleh AS.

William Nordhaus, guru besar di Universitas Yale dan mantan penasihat ekonomi presiden AS, menaksir konsekuensi ekonomi tersebut dalam rentang masa sepuluh tahun (2003-2012), dengan dua skenario: perang singkat dan perang berlarut. Dalam skenario pertama, AS harus membayar US$ 151 miliar, meliputi US$ 50 miliar untuk biaya pengiriman pasukan, US$ 75 miliar untuk pendudukan dan penjagaan keamanan pasca-perang, US$ 25 miliar untuk rekonstruksi kota-kota yang hancur, US$ 1 untuk bantuan kemanusiaan. Namun dengan kemungkinan keuntungan sebesar US$ 30 miliar berkat dampak perang atas pasar minyak, pengeluaran bersih AS akan sebesar US$ 121 miliar.

Pada skenario kedua, pengeluaran AS akan sebesar lebih dari sepuluh kali lipat atau US$ 1.595 miliar. Rinciannya: US$ 140 miliar untuk pengiriman pasukan, US$ 500 miliar untuk pendudukan dan penjagaan keamanan, US$ 100 miliar untuk rekonstuksi, US$ 10 miliar untuk bantuan kemanusiaan, US$ 500 miliar kerugian akibat dampak perang terhadap pasar minyak, ditambah US$ 345 miliar atas kerugian akibat dampak terhadap ekonomi makro.[7]

Dari mana AS akan mendapatkan dana-dana itu? Sumber utama di luar brankas AS sendiri adalah hasil penjualan minyak Irak, yang seluruhnya mungkin bisa dinikmati oleh AS, karena pada dasarnya serbuan ini adalah penjajahan oleh Amerika terhadap negara Irak, sehingga hubungan yang kemudian berlaku pun adalah pola penjajah-terjajah. Tapi perolehan dari minyak ini jauh lebih kecil dibanding pengeluarannya jika skenario kedua yang terjadi.

Dengan tingkat harga sekarang, dan dengan asumsi Irak berhasil mengembalikan tingkat eksploitasinya ke angka tiga juta barel per hari, AS akan mengantungi US$ 25 miliar per tahun dari minyak Irak—jadi jumlahnya hanya US$ 250 miliar untuk sepuluh tahun atau hanya sekitar 6,5 persen dari total pengeluaran. Tapi jika yang terjadi adalah skenario pertama versi Nordhaus, AS memang akan untung besar.

Apa yang sesungguhnya dimaui AS dengan tindakannya yang akan sangat merugikan perekonomiannya itu? Dalam skala global, AS ingin membuat peta dunia baru dan menjadikan dirinya sebagai aktor dominan tunggal dalam imperium dunia yang dikuasainya, sebagaimana jelas terungkap dalam apa yang disebut “Doktrin Bush” (lihat dokumen resmi “The National Security Strategy of the United States of America”).[8]

Khusus untuk Timur Tengah, AS akan menerapkan dominasinya itu lewat proxy Israel, yang akan menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah. Perhitungan Bush dan para penasihatnya: petualangan gila-gilaan ini memang merugikan kepentingan AS dalam jangka-pendek, tapi pasti akan menguntungkannya dalam jangka-panjang.

Adakah rakyat AS percaya bahwa aksi ilegal dan keji ini akan menguntungkan kepentingan nasional Amerika, bahkan untuk jangka-panjang? Yang jelas, FBI melaporkan bahwa penentangan terhadap serbuan ke Irak ini di dalam negeri Amerika jauh lebih besar daripada oposisi atas Perang Teluk 1991.[9]

Kini invasi AS sudah jadi kenyataan, dengan hasil akhir yang tak diketahui oleh siapapun, termasuk Pentagon, CIA, dan Gedung Putih sendiri, meski korban terbesarnya tentu mudah diketahui. Yang harus dilakukan oleh warga dunia, termasuk Indonesia, adalah: makin menggencarkan demonstrasi  agar AS segera menghentikan pembantaiannya.

Mereka, termasuk di sejumlah kota AS sendiri,  sudah melancarkan demo terbesar dalam sejarah pada Februari 2003 lalu, yang lebih masif ketimbang demo terhadap Perang Vietnam. Sama sekali belum terlambat bagi para pencinta perdamaian dan kemanusiaan untuk mengulangi aksi damai yang menggetarkan itu. Seperti bunyi sebuah poster dalam demo di New York bulan lalu, slogan kita adalah: “Our Planet, Right or Wrong!”[10]

 

C. Modus Ekonomi: Perseteruan US Dollar vs EURO

            Misil-misil AS berdesingan menghujani Baghdad sepanjang Bulan Maret-April 2003. Protes jutaan orang di belahan dianggap sepi. Doa perdamaian tak mampu menyumbat gemuruh alat perang. “Tidak seorang pun bisa menebak jalan pikiran si lelaki ‘sakit’ ini,” begitu seorang netter menulis.[11] Jelas itu kalimat berlebihan. Si ‘sakit’ yang dia maksudkan tak lain adalah George Walker Bush. Presiden ke-43 Amerika yang dengan ‘keras kepala’ memutuskan perang. Keputusan yang menjadi mimpi buruk jutaan rakyat tak berdosa yang terancam kehilangan rumah tinggal, kelaparan, bahkan kematian.

            Inikah perang yang digambarkan sebagai upaya menumpas biang teroris penyimpan senjata penghancur massal? Atau, seperti yang banyak muncul di media, perang untuk menguasai ladang minyak Irak yang nanti dijadikan sebagai sumber energi AS? Atau, alasan yang lebih sentimental, seperti dikatakan Bush sendiri, “Saddam tried to kill my Dad.” Gara-gara ulah Saddam, Bush senior bisa dipecundangi Bill Clinton pada pemiliran presiden 1992. Ada juga yang menyebut, ini tak lebih perangnya Israel dengan meminjam tangan Amerika langsung ke kancah perang. Bila AS bisa menumpas Irak, strategi untuk memecah belah negeri-negeri Muslim di kawasan itu akan lebih mudah, dan praktis melempangkan jalan tercapainya Israel Raya.

            Ada juga yang mengaitkan ini perang salib modern. Bush, pemeluk aliran Methodist yang taat, hendak menjadikan perang ini sebagai momentum perang agama. Motif ini susah diterima. Karena jutaan penolak perang justeru dari kalangan Nasrani. Lalu, manakah yang menjadi alasan utama serangan itu?

            Sesuatu dipaksakan menunjukkan ada agenda-agenda tersembunyi yang hendak dicapai seseorang. Dan, persoalan ini hampir pasti yang menyangkut hidup-mati negara yang dipimpin. Kurang masuk akal kalau argumennya hanya karena membasmi teroris. Sulit menerima perang karena alasan agama, apalagi dendam pribadi. Minyak? Mungkin benar, tapi tak cukup kuat untuk menjelaskan kenapa Jerman, Prancis, Rusia begitu intens dalam menolak invasi AS tersebut. Betul, mereka membutuhkan pasokan minyak (energi), dan memiliki ladang-ladang minyak di Irak, tapi kenapa sebegitu kukuh pembelaannya?[12]

            Kalau melihat motif ini, alasan yang cukup logis buat berlangsungnya perang adalah menyangkut hidup atau mati itu sendiri. Ini persoalan survival. Alasan untuk terus melanggengkan dominasi sebagai super power. Alasan selalu bisa menjadi GloboCop.

            Sebuah negara sering disebut adidaya karena dua hal: kekuatan militer dan kapital. Apakah ada yang perlu dipertaruhkan hidup mati dari kedua elemen ini? AS sudah pasti yang memiliki kekuatan militer tercanggih saat ini. AS paling royal membelanjakan dana untuk keperluan militer. Dan ketika berada di puncak kekuatan, AS menyatakan keluar dari ABM (Anti Ballistic Missile) treaty yang bisa dibaca ‘siap-siap’ perang. Masih belum percaya diri, Bush memutuskan untuk kembali meneruskan program StarWars-nya Reagen. Melihat langkah-langkah ini, boleh dibilang Amerika dalam kekuatan Militer jauh di depan, bahkan dari Rusia, pesaing utamanya dalam perang dingin. Negeri-negeri lain, apalagi Irak, hanyalah liliput di hadapan AS. Jadi siapa yang mengancam?

            Bagaimana dengan kapital? Posisi Amerika juga sebelumnya adalah kuat. Di mana-mana orang bepergian, dolarlah yang pertama diterima. Investasi juga dikaitkan dengan dolar. Bahkan, utang antarnegara dalam dominasi dolar. Dolarlah yang dijadikan ukuran. Yang tidak cukup kuat cadangan dolarnya, dijadikan sasaran spekulasi.

            Namun, hegemoni dolar ini mulai bergeser. Setidaknya, setelah euro diluncurkan pada tanggal 1 Januari 1999. Empat hari setelah peluncuran itu, nilai euro di pasar mencapai 1,9 dolar. Artinya, euro mengalami apresiasi terhadap hard currency dunia itu dengan signifikan. Publik melihat ini belum bisa dijadikan patokan. Dan benar, pada 3 Desember 1999, dolar kembali perkasa. Euro terhempas di bawah satu dolar AS. Seperti bandul, euro kembali menguat setelah pada tahun 2000, sempat terperosok hingga 0,85 per dolar. Penguatan itu berjalan terus. Per 19 Maret, misalnya, nilai euro mencapai 1,063 per dolar.[13]

            Pertanyaannya, bagaimana euro mengalami apresiasi selama setahun penuh terhadap dolar AS? Pertanyaan kedua, apakah trend apresiasi ini akan terus terjadi dalam tahun-tahun mendatang? Apa pula implikasinya bagi Amerika?

            Pertanyaan-pertanyaan itu tak mudah dijawab. Namun, secara sederhana teori ekonomi yang paling sederhana mengatakan, semakin langka barang, semakin tinggi nilainya. Barang itu menjadi langka, kalau jumlahnya terbatas tapi penggunaannya banyak Dalam kasus euro, masyarakat ekonomi Eropa sebagai pilar penyangga utama euro, jelas kekuatan ekonomi yang besar. Dan sejalan dengan waktu, mitra-mitra dagang Eropa yang semula melakukan pembayaran internasional dengan Dolar, pelan tapi pasti beralih ke euro. Setidak-tidaknya, negara mitra Eropa perlu mengonversi sebagian portofolio cadangan devisa yang mereka miliki ke dalam euro.

            Jika semakin banyak negara yang melakukan transaksinya ke euro, berarti ketergantungan mereka terhadap AS akan semakin berkurang. Artinya, bila mereka mulai melepaskan diri terhadap dolar, kontrol Washington atas negeri itu mulai terkikis.

            Dalam perspektif ini, invasi AS terhadap Irak lebih mudah dimengerti. Iraklah yang pertama kali meminta proyek Oil for Food dibayar oleh PBB dengan euro. Irak langsung membuka escrow account di New York pada akhir 2000. Belum cukup di situ, gerakan anti-dollar Saddam berlanjut dengan mengonversi cadangan devisa, kira-kira 10 miliar dolar ke euro. Saat itu sikap ini dinilai oleh para analis sebagai tindakan ‘bodoh’ Saddam karena euro pada posisi rendah senilai 0,823 per dolar. Tapi siapa sangka, belakangan nilai euro melesat hingga 1,0632 per dolar (pada periode 19 Februari 2003) atau terapresiasi 22,5 persen. Tanpa keluar keringat Saddam mengantongi jutaan dolar keuntungan.

            Sikap ini akan lebih berbahaya lagi bila kemudian ditiru oleh mitra-mitra Irak di OPEC seperti Iran, Venezuela, dan banyak negeri timur tengah lainnya. Celakanya, kecemasan ini terbukti ketika negeri yang dicap oleh AS sebagai poros setan (axis of evil), yaitu Iran, diam-diam mengajukan proposal serupa. Gubernur bank sentral Iran mengajukan usulan kepada parlemen agar meluluskan proposal pembayaran hasil minyak hanya dalam euro. Sebagai gambaran, nilai ekspor Iran dari minyak mencapai 16 miliar dollar AS.

            Puncak kekhawatiran itu terjadi bila ternyata solidaritas anggota OPEC memutuskan pembayaran minyaknya hanya dalam bentuk euro. Sebagai gambaran produksi minyak per tahun mencapai 75 miliar barel, sekitar 60 persennya dihasilkan anggota OPEC. Bayangkan bila kumpulan negara penyedia minyak yang solid itu tiba-tiba meminta dibayar pakai euro, pasti akan terjadi rush dollar besar-besaran dari tiap-tiap negara konsumen minyak untuk kemudian dibelikan euro. Dolar akan terdepresiasi besar-besaran.

            Dari kacamata Amerika, ini tidak boleh terjadi. Menyetop negara-negara OPEC yang hendak beralih menggunakan mata uang euro, memerlukan unjuk tekanan politik bahkan militer yang besar. Menjatuhkan Saddam jadilah cara efektif untuk menggertak negara-negara OPEC itu agar tak beralih ke euro. Aksi ini akan terus berlangsung, dan akan mengancam negara mana saja sehingga tujuan dari melanggengkan kapitalisme Amerika tercapai.[14]

 

           

           


        [1] Republika, 21 Maret 2002.  

        [2] Wimar Witular, “Osama di Irak?”, artikel yang dimuat dalam situs www.detik.com/kolom/ wimar. 

         [3] Dikutip dari Siaran Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, tanggal 11 Oktober 2001, dengan judul “Perang ini Bukan Hanya Perang Amerika”, yang dimuat di situs http://usembassy.gov/jakarta.

        [4] Kompas, 17 Januari 2003.

       [5] Wimar Witular, “Osama di Irak?” yang diambil dari situs www.detik.com/kolom/wimar. 

         [6] Hamid Basyaib, dalam artikel yang berjudul “Menghentikan Pembataian Ilegal AS”, yang dimuat dalam situs www.republika.co.id/artikel/amerika-irak/hamid-basyaib.  

        [7] Hamid Basyaib, Ibid.

        [8] Hamid Basyaib, Ibid.

        [9] New York Times, 19/3/2003.

       [10] Hamid Basyaib, Op.Cit.

        [11] Republika, 21 Maret 2003.

        [12] M. Luthfi Hamidi, “Duel Dolar VS Euro, Irak Jadi Tumbal?” yang dimuat di Republika, 21 Maret 2003.

        [13] Ibid.

        [14] Ibid.

By harjasaputra

Voice of Humanism (VoH), silahkan akses ke http://www.harjasaputra.com

One reply on “Irak Pasca Perang [3]”

Leave a comment